Dipublish pada:
“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya, gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhi sang guru.” Kata-kata ini lahir dari mulut seorang ulama besar Islam, al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullah. Imam asy-Syafi’i memang dikenal sangat memuliakan guru-gurunya.
Ada riwayat yang mengisahkan bagaimana luar biasanya pendiri mazhab Syafi'i tersebut dalam memperlakukan gurunya. Ia pernah tiba-tiba mencium tangan dan memeluk hangat seorang lelaki tua yang kebetulan bertemu muka dengannya. Tindakan ini jelas mengundang tanya para sahabat dan murid-murid Imam asy-Syafi’i.
“Wahai Imam, mengapa engkau mau mencium tangan dan memeluk lelaki tua yang tak dikenal itu? Bukankah masih banyak ulama yang lebih pantas diperlakukan seperti itu daripada dia?” tanya salah seorang sahabatnya.
Dengan lugas, Imam asy-Syafi’i menjawab, “Ia adalah salah seorang guruku. Ia kumuliakan karena pernah suatu hari aku bertanya kepadanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah dewasa. Ia pun menjawab, untuk mengetahuinya dengan melihat apakah anjing itu mengangkat sebelah kakinya ketika hendak kencing. Jika iya, maka anjing itu telah berusia dewasa.”
Lihat, begitu luar biasanya Imam asy-Syafi’i memperlakukan gurunya. Meski pembelajaran yang ia dapatkan terkesan remeh, tidak membuat mufti besar itu melupakan apalagi meremehkan jasa dari orang tersebut. Ia tetap memperlakukannya dengan mulia, sama seperti ia memperlakukan guru-gurunya yang lain. Pantaslah jika dikemudian hari, sejarah Islam mencatat nama Imam asy-Syafi’i dengan tinta emas. Ulama besar yang jejak hidupnya hingga kini tetap diingat dan dihormati setiap muslim.
Memuliakan Guru, Memuliakan Ilmu
Jika Imam asy-Syafi’i tidak meremehkan sekecil apa pun ilmu yang didapatkan dari seseorang, lalu bagaimana dengan kita yang semenjak kecil sudah sangat akrab dengan sosok seorang guru? Entah itu guru formil yang mengajar di sekolah, atau guru non formil seperti guru ngaji atau guru-guru lainnya. Sudahkah menempatkan penghormatan terhadap guru di atas keegoan kita?
Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian.” Perkataan ini dengan gamblang menyatakan adab atau etika seseorang yang berguru. Jika kita ingin memperoleh keberkahan dari suatu ilmu, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghormati sosok yang mengajarkannya. Tanpa penghormatan terhadap guru, maka sebanyak apa pun ilmu yang dipelajari seorang murid, semuanya akan sia-sia.
Dalam literatur pendidikan Islam, pelajaran pertama yang diterima seorang murid sebelum ia mempelajari ilmu-ilmu yang lain, adalah pelajaran mengenai adab atau etika antara guru dan murid (Adabu Mu’allim wa Muta’allim). Bab mengenai hal ini seringkali tidak singkat, bahkan ada yang berlangsung sangat lama. Menunjukkan betapa penting atau fundamentalnya hal tersebut.
Murid harus paham dari siapa ia memperoleh ilmu. Karena berbeda misalnya dengan nasihat, yang mana nasihat tak perlu dilihat dari siapa kita memperolehnya. Sepanjang nasihat itu mengandung kebaikan, maka wajib didengar dan diamalkan. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Unzur ma qala wala tanzur man qala” (Lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakannya). Begitulah hakikat ilmu yang berbeda dengan nasihat.
Memang, metode pembelajaran dalam ilmu-ilmu Islam sangat memperhatikan sanad atau validitas dari ilmu yang diajarkan. Sehingga adab atau etika terhadap guru amat diutamakan, karena memuliakan guru berarti memuliakan ilmu. Dengan memuliakan ilmu, insya Allah keberkahan dari-Nya akan turun.
Hari Guru di Indonesia
Khusus di Indonesia, setiap 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Penetapan hari guru ternyata tidak hanya di Indonesia. Hampir setiap negara memiliki hari guru dengan tanggal berbeda-beda. Di Indonesia, pemilihan 25 November didasari pada tanggal tersebut bersamaan dengan ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), 25 November 1945.
Hari Guru Nasional telah ditetapkan sejak 1994, yakni dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78 Tahun 1994. Keppres tersebut dikuatkan lagi dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hanya sayangnya, tidak banyak yang mengetahui. Selain tidak ditetapkan sebagai tanggal merah atau libur nasional, Hari Guru Nasional juga nyaris tidak banyak dirayakan. Sosialisasi yang minim semakin membuat eksistensi Hari Guru Nasional seakan ada dan tiada.
Hal ini patut disayangkan. Karena untuk apa penetapan Hari Guru Nasional jika banyak yang tidak mengetahuinya? Esensi hari nasional menjadi hilang, kalau tidak mau dikatakan sekadar formalitas belaka. Padahal, penetapan Hari Guru Nasional seyogyanya menjadi momen bagi pemerintah dan setiap elemen masyarakat untuk duduk bersama. Membincangkan dan mencari solusi atas berbagai masalah terkait guru dan sistem pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari ideal.
Permasalahan mulai dari standarisasi kualitas guru-guru yang belum merata, kurangnya tenaga guru-guru di desa atau tempat terpencil, hingga minimnya penghargaan terhadap guru honorer atau guru non formil lainnya. Semua masalah ini insya Allah ada solusinya, sepanjang kita semua mau bersungguh-sungguh menemukan. Do the best and let Allah do the rest!
Digugu dan Ditiru
Memahami tingginya penghormatan terhadap guru, mengisyaratkan profesi ini bukanlah main-main. Ada tanggung jawab teramat berat di pundak seorang guru. Tanggung jawab yang tak hanya mencerdaskan anak bangsa, tapi juga masa depan negeri ini ada di tangan seorang guru. Tanggung jawab profesi yang berbalut dengan tanggung jawab moral.
Jadi, buang jauh-jauh pemikiran yang mengartikan profesi guru untuk sekadar memperkaya diri. Atau berpikir dengan menjadi guru, maka akan mudah mendapat kerja. Nilai profesi guru tidak serendah itu. Sebaliknya, guru merupakan profesi mulia yang idealnya dilakoni karena panggilan jiwa. Bukan karena motif ekonomi atau prestise (gengsi) semata.
Bagi seorang murid, guru adalah sosok yang ia gugu dan tiru. Tak hanya pemikirannya, tapi juga tingkah polah seorang guru. Karenanya, jika ada murid yang gagal dalam nilai akademik atau moralnya yang buruk, jangan terlalu cepat menyalahkan murid tersebut. Boleh jadi ada kontribusi guru yang membuat ia bersikap seperti itu. Bukankah tidak ada murid yang buruk, tapi hanya ada guru yang buruk? (Suhendri Cahya Purnama)