Dipublish pada:
Teh, kalau suami tidak pernah memberi nafkah kepada istrinya, apakah itu termasuk perbuatan zalim?
(+62857-9402-3xxx)
Salah satu kewajiban seorang suami adalah menafkahi istri dan anak-anaknya (keluarganya). Menafkahi di sini berarti mencukupi kebutuhan lahir dan batin mereka, terutama kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan. Hal ini didasarkan pada pendapat para fuqaha, sebagai hasil dari penelaahan mereka terhadap al-Quran dan hadis Rasulullah saw.
Satu di antara dalil yang dijadikan rujukan adalah surah An-Nisâ’ [4]: 34, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”
Seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, dia dianggap berdosa besar. Rasulullah saw bersabda, "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan dia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud). Beliau pun bersabda, "Cukuplah dikatakan berdosa bagi orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) atas orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Muslim)
Islam tidak menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat seseorang. Hal yang dituntut agama adalah keseriusan mereka dalam berikhtiar mencari nafkah yang halal. "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya," demikian sabda Rasulullah saw. (HR Bukhari)
Apabila seorang suami tetap mengabaikan kewajiban memberikan nafkah kepada keluarganya, sehingga istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya, biaya yang dia keluarkan menjadi utang yang harus dibayar oleh suami. Selama istri belum merelakannya, seorang suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut meskipun telah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Pengabaian ini pun menjadikan istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa suaminya memenuhi kebutuhannya, atau agar memisahkan mereka berdua dari tali perkawinan.
Lalu, apakah bisa seorang istri memiliki hak menuntut pisah dari suaminya jika dia menahan tidak memberikan nafkahnya tanpa adanya sebab yang dibenarkan? Dalam hal ini, pada fuqaha berbeda pendapat dalam beberapa keadaan. Namun, mereka bersepakat dalam beberapa keadaan yang lain, di antaranya:
Pertama, apabila suami yang menahan dari memberikan nafkahnya itu memiliki harta yang tampak, seorang istri diperbolehkan mengambil nafkah dari suaminya; baik dengan sepengetahuan suami atau tidak, baik dilakukannya sendiri atau melalui seorang hakim. Dalam hal ini tidak ada hak bagi istri menuntut pisah karena dimungkinkan baginya untuk mendapatkan nafkah tanpa perlu adanya pemisahan.
Kedua, apabila seorang suami yang menahan nafkahnya tidak memiliki harta yang tampak baik dikarenakan kesulitannya (miskin), atau tidak diketahui keberadaan hartanya itu, atau dikarenakan suaminya itu menghilangkan hartanya, seorang istri dapat mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pisah dari suaminya karena adanya sebab-sebab tersebut. Di kalangan fuqaha sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam hal pembolehan pemisahan ini. Namun, pendapat paling kuat menyatakan seorang istri—yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya—berhak menuntut pemisahan dari suaminya dikarenakan kuatnya dalil-dalil dalam hal tersebut.
Seorang suami selayaknya merenungkan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah [2]: 229, ”... menggenggam (istri) dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Ayat ini memberikan dua pilihan kepada seorang suami terkait istrinya, yaitu menggenggam dengan cara yang ma’ruf (memberikan nafkah kepadanya), atau menceraikannya dengan cara yang baik apabila dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya. Wallâhu a’lam.
(Sumber: Konsultasi Muslimah bersama Teh Ninih di Majalah Swadaya)