Layanan

Donasi

Beranda

Donasi

Layanan

Nabi Isa: Bukti Keberadaan “Kehendak” Yang Maha Mengadakan
 

 

Nabi Isa: Bukti Keberadaan “Kehendak” Yang Maha Mengadakan

Dipublish pada:

26-Jul-24

“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia).” (QS. Ali Imran [3]: 59)


Abu Qasim bin Asyakir dan Muhammad bin Ishak di dalam kitabnya menyampaikan silsilah Nabi Isa bersambung kepada Nabi Daud, yakni dari ibu suci tanpa suami yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Nabi Isa dilahirkan di Baitullaham (Bethlehem) yang berarti “tempat lahir”. Kota ini terletak sekitar 9,5 km di sebelah selatan Yerusalem. Ketika bayi Isa lahir, Bani Israil kala itu sedang dijajah oleh Bangsa Romawi.


Beberapa hari setelah kelahiran, bayi Isa dibawa pulang ke kampung halaman ibunya (Siti Maryam). Semua penduduk kampung merasa heran dengan bayi yang dibawanya. Mereka mencemooh Maryam karena berpikir ia telah melakukan hubungan di luar nikah, walaupun mereka sadar Maryam berasal dari keluarga baik-baik dan perangainya tidak mungkin berani bertindak demikian.


Maryam tidak membalas tuduhan itu. Ia mempersilakan bayi yang berada dalam buaiannya (bayi Isa) untuk menjawab dan berkata-kata dengan setiap orang yang menuduhnya. Allah SWT berkehendak memberikan irhas sehingga bayi Isa bisa bicara. Irhas ini menjadi bukti konkret segala sesuatu yang mustahil tetap bisa terjadi manakala Allah menghendakinya.


Bayi Isa dikhitan pada usia 8 hari. Tindakan ini sesuai syariat yang diberlakukan nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim. Seiring pertumbuhannya, orang-orang Yerusalem mengenal Isa sebagai remaja yang cerdik, pintar, berani, dan tegas membela kebenaran serta menumbangkan kebatilan. Sikap dan pendirian ini ternyata tidak disukai oleh raja yang berkuasa di Palestina saat itu (yang bernama Raja Herodus) karena dianggap mengganggu kekuasaannya. Maka, raja menganggap Isa sebagai musuh utama dan berencana mengeksekusinya.


Allah SWT menghendaki rencana jahat ini diketahui oleh Maryam. Selanjutnya ia mengambil sikap terbaiknya. Segera, Maryam membawa Isa yang masih remaja untuk berhijrah ke negeri Mesir agar mendapatkan perlindungan. Mereka menetap di sana selama 12 tahun sampai Palestina dianggap aman atau karena raja yang zalim itu telah meninggal. Setelah Raja Herodus wafat, Isa dan ibunya pun kembali ke negeri Palestina.


Pada usia 30 tahun, kondisi masyarakat Bani Israil semakin tidak jelas. Benar dan bathil bercampur sedemikian rupa sehingga segala sesuatu menjadi “abu-abu” hukumnya. Ada yang mengatakan benar, namun banyak pula yang berbeda bahkan menentangnya. Hampir semua pihak bisa menjadi “hakim” bagi setiap perkara yang sedang terjadi sehingga Bani Israil semakin terpecah belah.


Isa mengerti bahwa Bani Israil harus bersatu agar menjadi kekuatan. Ia bingung sedemikian rupa. Selanjutnya, Isa mengasingkan diri dari keramaian agar bisa membersihkan hati nurani dan mencari pencerahan sehingga bisa menemukan jalan keluar dari kondisi tersebut. Ketika Isa hendak menuju Bukit Zaitun, beliau terjatuh di dekat sebuah batu besar. Tiba-tiba, datanglah seseorang yang meminta kepadanya agar menjadikan batu besar itu menjadi roti yang bisa dimakan olehnya. Isa yang tidak mengetahui maksud permintaan ini tentu tidak mengabulkannya. Bahkan beliau menjadikannya sebagai momen untuk menanamkan keimanan kepada Allah Azza wa Jalla di dalam hati dan pikiran lawan bicaranya. Mengetahui responsnya seteguh ini, lawan bicaranya bergegas pergi meninggalkan Isa.


Selanjutnya, Malaikat Jibril mendatangi Isa dan memberitahukan bahwa yang datang tadi adalah Iblis yang sengaja hendak mengganggunya. Isa bersujud penuh syukur karena selamat dari godaan iblis. Lalu, Malaikat Jibril menyampaikan Allah SWT berkehendak menjadikan Isa menjadi rasul yang melanjutkan estafet perjuangan risalah yang Allah berikan kepada rasul sebelumnya yaitu Nabi Yahya. Isa pun menerimanya sehingga tanggung jawab perjuangan menjadi berada “di pundaknya”. Wallahu a’lam.


Penulis: Ustadz Edu

Ditulis Oleh:

Administrator