Ada yang bertanya, “Pak, ada motivator yang mengatakan kita baru mempergunakan kurang dari 2 persen kapasitas otak. Bahkan, orang sekaliber Albert Einstein sekali pun belum memaksimalkan kekuatan otaknya, paling hanya 5-10 persen. Apakah benar seperti itu? Terus, bisakah kita meningkatkan kemampuan otak menjadi seperti Einstein?”Pertanyaan yang sangat bagus dan layak untuk dicarikan jawabannya.Terkait hal ini, hal pertama yang perlu dikritisi adalah dari mana hitungan 2, 5, atau 10 persen tersebut didapatkan. Bagaimana cara mengukurnya bahwa orang-orang seperti kita baru mempergunakan 2-5 persen dari kemampuan otak yang kita miliki? Boleh jadi, yang dimaksud oleh para trainer, pembicara publik, atau para motivator tersebut adalah kenyataan otak manusia itu sungguh luar biasa. Ia adalah mesin tercanggih di dunia, tidak mungkin ada yang bisa menciptakannya selain Zat Yang Mahasempurna. Akan tetapi, mesin super canggih yang terdapat di batok kepala manusia tersebut belum dioptimalkan penggunaannya. Mungkin itulah yang dimaksud oleh para pembicara publik tersebut. Sebagai motivator, mereka ingin memberi semangat kepada peserta pelatihan atau audiensnya bahwa kalau kita mau mengoptimalkan fungsi otak, kita akan jauh lebih hebat dan lebih sukses daripada sekarang.Apabila dilihat dari mekanisme kerja otak, sesungguhnya setiap orang telah menggunakan 100 persen kapasitas otaknya. Bagaimana tidak, ketika seseorang hanya menggunakan 80-90 persen dari kapasitas otaknya, orang tersebut dianggap menderita gangguan fungsi otak, semisal stroke. Artinya, setiap orang yang normal pasti memfungsikan otaknya 100 persen. Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau kita menggunakan 100 persen kemampuan otak, mengapa kita kalah oleh Albert Einstein, BJ Habibie, Stephen Hawking, Prof. Abdussalam, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan para jenius lainnya? Seratus persen yang kita miliki ternyata berbeda dengan 100 persen yang dimiliki oleh Einstein dan teman-temannya. Kita ambil contoh, si A punya sepeda motor, si B punya mobil bus. Si A menggunakan 100 persen kapasitas motornya dengan mengangkut dua orang. Sedangkan si B, menggunakan 100 persen kapasitas busnya dengan mengangkut 50 orang. Bagaimana agar kita pintar? Andai pun tidak mendekati kecerdasan Einstein atau Pak Habibie, ya minimal mendekati! Jika demikian, kita pun harus beli bus. Artinya, kita harus berusaha mengembangkan kapasitas otak kita dengan banyak belajar sehingga seratus persennya kita bisa sebanding dengan 100 persennya beliau-beliau itu. Atau, 100 persennya kita bisa mengangkut 50 orang bukan lagi mengangkut 2 orang penumpang.Kabar baiknya, meningkatkan kapasitas otak agar bisa mendekati orang-orang hebat tersebut, ternyata bukan hal yang tidak mungkin. Artinya, sangat mungkin terjadi karena setiap orang sudah dibekali otak yang sama ketika lahir ke dunia. Bayangkan saja, kita terlahir dengan inner potential dan natural capital anugerah Allah berupa kurang lebih 80 s/d 100 miliar sel neuron. Potensi itu dilengkapi dengan jaringan koneksi broadband sinaps agar bisa berkomunikasi dengan sekitar 15 ribu satuan sambungan per sel saraf. Dengan kata lain, pada masa-masa awal kehidupan saja, kita telah dilengkapi dan dimodali sekitar 1,5 biliun komunitas saraf berkoneksi tinggi yang siap untuk dibentuk dan diisi. Akan tetapi, cerdas tidaknya manusia itu tidak dipengaruhi oleh banyak tidaknya jumlah sel di dalamnya, akan tetapi ada pada banyak tidaknya koneksi di antara sel-sel tersebut. Semakin banyak terjadi koneksi di antara sel otak, akan semakin pintar pulalah orang tersebut. Semakin banyak belajar, akan semakin banyak sinaps di otak. Selama hidupnya, Einstein dikenal sebagai orang yang sangat fokus dan bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah. Jadi, Einsteins adalah orang yang bekerja keras untuk banyak tahu sehingga ia banyak belajar. Dengan demikian, otak Einstein dengan otak kita sama saja ketika lahir, hanya saja dia lebih banyak belajar setelah itu sehingga sinaps-sinaps di otaknya lebih kaya. Sinaps itu sendiri sesungguhnya tidak akan terbentuk tanpa adanya sel glia yang merupakan support system-nya sel saraf. Sebagai analogi, ketika hendak membangun sinaps, kita perlu mandor dan tukang. Nah, mandor dan tukang yang bagus ini dinamakan sel glia. Sinaps dapat kita ibaratkan rel kereta api. Di otak Einstein itu ditemukan sinaps dan glianya sangat banyak, akan tetapi volume otaknya sama saja seperti orang kebanyakan. []Penulis: Dr. Tauhid Nur Azhar
Ditulis Oleh:
Administrator