Dipublish pada:
Awal Maret 2020. Masyarakat dihebohkan dengan informasi terkait kemunculan virus Corona di Indonesia. Setelahnya, pandemi Covid-19 menjadi realita sehari-hari. Beragam dampaknya mulai kita rasakan. Mulai dari tataran ekonomi hingga kesehatan.
Kini, dua tahun telah berlalu. Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya
menghilang. Walau meninggalkan banyak permasalahan, namun ada hikmah yang bisa
kita petik dari pandemi tersebut. Yakni budaya berbagi (prososial) masyarakat
Indonesia semakin mengakar kuat.
Corona membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Namun, tidak satu pun
berita mengabarkan orang-orang meninggal karena kelaparan. Ini karena
pemerintah dan masyarakat dengan sigap bahu-membahu menghimpun bantuan. Uluran tangan dari para dermawan seakan tidak
pernah berhenti. Berkolaborasi menyumbangkan sebagian rezekinya untuk
dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Sebagaimana dilakukan Daarut Tauhiid (DT) Peduli
misalnya, menghimpun donasi dari masyarakat untuk kemudian disalurkan dalam
berbagai program bantuan makanan dan kesehatan bagi mereka yang terdampak
pandemi.
Warisan Leluhur
Suatu perilaku yang dilakukan berulang-ulang, lama-lama menjadi kebiasaan. Jika kebiasaan itu diwariskan ke generasi berikutnya (turun-temurun), dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, maka perilaku tersebut dikatakan telah menjadi tradisi. Lebih jauh lagi, ketika tradisi berkembang menjadi cara hidup yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang atau masyarakat, maka jadilah ia sebagai budaya.
Jika kita melacak budaya berbagi pada masyarakat
Indonesia, kita dengan mudah menemuinya di setiap suku di negeri ini. Ada
banyak tradisi yang mencerminkan perilaku altruistik,
yaitu kepedulian terhadap orang lain dengan tidak
mementingkan diri sendiri/tanpa harap imbal jasa.
Contoh, tradisi Morakka’bola di Sulawesi
Selatan. Merupakan tradisi gotong royongmasyarakat Bugis Barru yang memindahkan
sebuah rumah dari satu tempat ke tempat lainnya agar terhindar dari bencana dan
malapetaka. Warga sekitar secara sukarela bersama-sama membantu warga lain yang
akan pindah rumah. Setelah rumah selesai dipindahkan, kegiatan dilanjutkan
dengan acara syukuran (Baca Barazanji).
Contoh lain, tradisi Nganggung di Kabupaten
Bangka. Yakni kegiatan membawa dulang berisi makanan ke masjid atau langgar
ketika menyambut datangnya hari besarkeagamaan, menghormati orang yang
meninggal dunia, atau menyambut kedatangan tamu besar. Tradisi Nganggungkental
dengan unsur kebersamaan di dalamnya, dan tidak membedakan antara etnis satu
dengan etnis lainnya.
Tradisi atau budaya-budaya seperti ini yang harus kita langgengkan.
Tidak hanya mengundang keridaan dan keberkahan dari Allah, tapi juga sangat
sesuai dengan nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia.
Etika Berbagi
Islam amat concern terhadap nilai-nilai berbagi. Mereka yang senang berbagi akan dibuat gembira oleh Allah SWT pada hari kiamat.Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw,“Barangsiapa menjumpai saudaranya yang muslim dengan (memberi) sesuatu yang disukainya agar dia gembira, maka Allah akan membuatnya gembira pada hari kiamat.” (HR. Thabrani).
Dan tentu saja, pahala teramat besar bagi mereka yang senang berbagi di kala lapang maupun sempit. “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid [57]: 7).
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada tiap-tiap bulir 100 biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqarah [2]: 261).
“(yaitu) orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit…” (QS. Ali 'Imran [3]: 134).
Namun, di balik semua itu, ada hal penting terkait etika berbagi. Komaruddin Hidayat, seorang cendekiawan Islam di negeri ini mengingatkan kita tentang hal tersebut.
Mengutip dari ceramah yang disampaikan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dua periode itu, saat berbagi kita dianjurkan memberikan sesuatu yang masih dicintai atau disukai. Jangan sebaliknya, memberikan sesuatu yang tidak kita senangi. Itu sama saja menjadikan orang yang kita beri sebagai ‘keranjang sampah’.
Contohnya ketika berbagi
makanan atau pakaian. Komaruddin menyarankan hendaknya kita berbagi
makanan/pakaian yang juga kita senangi pada orang lain. Cobalah tidak
memberikan pakaian yang sudah tidak dipakai atau makanan sisa. Kalau kita
memberikannya, artinya kita merendahkan martabat orang lain sekaligus
merendahkan martabat diri kita.
Inilah indahnya etika
berbagi dalam Islam. Selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan niat
semata-mata meraih keridaan-Nya. “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan
sebelum menginfakkan sebagian harta yang dicintai. Dan apa pun yang kamu infakkan,
tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 92).
Jadi, ketika berbagi serahkanlah semuanya kepada Allah. Tidak perlu kemudian kita mengharapkan pujian, tepuk tangan, atau simpati orang lain. Cukup karena itu perintah Allah. (Suhendri Cahya Purnama)