“Sesungguhnya
Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi
segala umat (pada masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang
sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Ingatlah), ketika istri Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang
saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu
daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran [3]: 33-35)Imran adalah sosok yang sangat berkomitmen dengan keyakinannya. Ia menjamu
diri, keluarga, teman, dan seluruh masyarakat di lingkungan sekitarnya agar
mereka berkenan memegang teguh prinsip hidup yang akan memuliakannya di dunia
dan di akhirat. Ia adalah keturunan Nabiyullah Ibrahim dari dua garis keturunan
yang tersatukan, yaitu Nabi Ismail dan Nabi Ishak (dari anak pertamanya yang
bernama Aish, kakak kembar Nabi Ya’qub). Walaupun sangat merindukan kekehadiran ‘buah hati’ sejak dini, namun Allah
SWT baru mengaruniakan pada masa tua. Pada saat kondisi tubuh tidak se-fit dan
se-enerjik masa mudanya. Inilah ujian pertama yang dihadapi keluarga Imran.
Ujian ini diperberat dengan qadarullah yang berkehendak memanggil Imran wafat
sebelum masa kelahiran tiba. Sehingga, seluruh harapan dan keinginan Imran
bertumpu di ‘pundak’ istri tercintanya. Berdasarkan keterangan dari Ibnu Katsir, istri tercinta Imran bernama
Hannah binti Faqud. Ia memiliki adik perempuan yang selanjutnya dinikahi oleh
Nabi Zakaria. Walaupun kehidupannya bersama Imran sederhana, namun Hannah
senantiasa setia menemani dan mendampinginya.Ketika Allah SWT menganugerahkan kehadiran bayi di rahimnya, Hannah yang
sudah berusia lanjut saat itu memanjatkan syukur dan bersegera menyampaikan
kabar gembira ini kepada suaminya. Imran turut bergembira dan bersegera
memanjatkan syukur kepada Allah Azza wa Jalla.Rasa syukur tidak boleh sebatas kata. Maka, Imran membuat segenap program
untuk ‘menjamu’ calon bayi agar terbimbing dengan benar. Tumbuh dan berkembang
menjadi generasi harapan yang mampu menjawab tantangan zaman. Ia mengawali
dengan mengamanahi istrinya agar telaten menjaga kondisi janin, serta
senantiasa memberikan asupan (makanan) dan ‘jamuan’ yang baik sesuai petunjuk
Allah. Kewajiban istri
taat kepada suaminya dan surga istri ada di suaminya pula. Hannah pun
mengikutinya. Bahkan ia bertekad memberikan energi lebih agar bayi yang
dikandung sesuai harapan suaminya, meski ajal yang tidak bisa diterka datang
menemui suaminya. Di tengah ujian kedua keluarga Imran ini, Hannah tetap
mengumpulkan energi untuk tetap fokus dan istiqamah merealisasikan harapan
suaminya. Maka, ia bernazar kepada Allah SWT, anak yang dikandung akan
‘dihibahkan’ agar bisa berkhidmat memikul tugas mulia di Baitul Maqdis. Saat kelahiran yang dinanti tiba. Hannah terperanjat mengetahui anak yang
dikandungnya berjenis kelamin perempuan. Padahal, para pelayan yang bertugas di
Baitul Maqdis semuanya berjenis kelamin laki-laki. Di tengah kebingungan itu,
ia lalu berkoordinasi dengan adik iparnya yang telah Allah angkat sebagai
nabi-Nya, yaitu Zakaria. Walaupun tampak aneh, Nabi Zakaria menerima dan menyampaikan ia akan
mengawal serta menjaga keponakannya sehingga harapan Imran dan Hannah tetap
terlaksana. Selanjutnya, Hannah menamai bayi mungilnya dengan nama Maryam. Ia
menjaganya sampai masa Maryam bisa dilepaskan untuk bertugas di Baitul Maqdis
dalam bimbingan pamannya (Nabi Zakaria). ‘Jamuan’ Hannah menjadi penentu apakah
Maryam siap beraktivitas di Baitul Maqdis bersama yang lainnya, atau malah
menetapkan mundur disertai berbagai alasan. Syahdan, Maryam menunjukkan sikap terbaiknya. Ia menyatakan siap mengikuti
program yang telah disiapkan untuknya. Maka, melalui bimbingan dan pendampingan
dari Nabi Zakaria, Maryam mendedikasikan seluruh hidupnya di Baitul Maqdis.
Wallahu a’lam.
Penulis: Ust. Edu
Ditulis Oleh:
Administrator