Dipublish pada:
Tiada hubungan paling dekat dan lekat selain hubungan antara orangtua dengan anak. Keduanya memiliki jalinan cinta hakiki yang selalu hadir dan terkomunikasi melalui aneka bahasa, verbal maupun nonverbal. Bahkan, jalinan komunikasi di antara keduanya telah terbangun semenjak detik pertama di alam rahim, kemudian mewarnai tujuan hidup manusia pada tahapan berikutnya.
Terdesaknya jalan lahir sebagai misal, memicu membanjirnya zat kimia otak yang bernama oksitosin. Tidak hanya membantu proses kontraksi otot rahim untuk mendorong bayi lahir, oksitosin juga melahirkan rasa cinta yang bersifat nyaris sempurna. Hubungan anak dengan ibunya pun akan diwarnai zat kimia ini sepanjang usia.
Dan, tahukah bahwa setiap manusia memimpikan kehangatan banjirnya zat kimia ini di otak? Proses menyusui yang berlangsung sesaat setelah persalinanlah yang membuat zat kimia yang sama membanjiri otak anak. Sejak itu pula jembatan kasih antara anak dan bunda terbangun.
Sentuhan dan belaian serta perhatian di setiap ruang waktu kehidupan akan memperkokoh “jembatan” tersebut. Bagaimana bisa? Sebuah penelitian di University of Wisconsin Madison, USA, menunjukkan suara seorang ibu yang didengar oleh anaknya melalui telepon dapat membangkitkan zat kimia oksitosin tersebut.
Penelitian yang diawaki antara lain oleh Leslie Seltzer itu “mengasingkan” sekelompok anak gadis dan membatasi komunikasi mereka dengan ibunya. Pada saat mereka diasingkan ternyata zat kimia yang lekat dengan stres, yaitu kortisol meningkat kadarnya. Ketika bunda tersayang diizinkan melakukan pembicaraan melalui telepon, seketika itu juga hormon oksitosin pertanda cinta di dalam darah setiap anak gadis itu melonjak kadarnya.
Maka, bahagia ketika bisa bersama dan mendengar suara orang yang paling dicintai ternyata membangkitkan kasih sayang yang rahman dan rahim. Inilah rasa yang tidak pernah meninggalkan kita sampai kelak menemukan Sang Maha Pemiliknya.
Tidak hanya itu, sejumlah penelitian lain membuktikan bahwa belaian lembut, perhatian, dan keikhlasan dalam menyayangi ternyata juga mampu menstimulasi terekspresinya gen-gen penting yang terlibat dalam proses pembentukan perilaku. Beberapa gen yang teridentifikasi antara lain gen penyandi guanilat siklase dan reseptor dopamin.
Ini artinya, menyayangi anak-anak dan orang-orang di sekitar kita dengan penuh keikhlasan adalah langkah awal dalam “menularkan” sikap saling mengasihi dan peduli terhadap sesama. Tidak heran jika panutan kita, pribadi agung yang dimuliakan menjadi utusan-Nya senantiasa mencintai sesama, khususnya anak-anak yatim.
***
Masalahnya sekarang, bagaimana bisa modal berharga tersebut seakan menguap, ketika antara anak dan bunda seakan terbatasi jurang pemisah? Akhirnya, anak sibuk dengan dunianya dan orangtua pun sibuk dengan urusannya. Mengapa?
Mari kita berbicara tentang orangtua. Anak tidak dekat dengan orangtua adalah karena ia tidak merasa nyaman dengan ibu atau bapaknya. Orangtua bukan lagi sosok penuh solusi, tetapi sosok penuh ancaman. Seseorang yang merasa dirinya terancam atau tidak nyaman dengan sesuatu, respons yang ia berikan adalah menjauhi sumber ancaman tersebut, atau yang lebih ekstrem ”menyingkirkannya” sehingga tidak lagi menjadi ancaman.
Tentu, bukan salah anak apabila ia menganggap orangtuanya sebagai ancaman. Orangtualah yang harus introspeksi dan mengubah pola komunikasi dengan anak. Jadi, persoalannya bukan pada sayang tidak sayang, akan tetapi lebih pada cara berkomunikasi. Orangtua seringkali memperlakukan anak sama, baik ketika anak masih balita, lalu beranjak remaja, dan kemudian menjadi dewasa. Padahal, seiring bertambahnya usia dan kedewasaan anak, cara orangtua menghadapi dan memperlakukan anak pun seharusnya berbeda.
Apa solusinya? Jadilah sahabat untuk anak remaja. Pola interaksi antara dua sahabat tentu berbeda dengan pola interaksi antara guru dan murid, atasan dan bawahan, dan sebagainya.
Pola interaksi antara dua sahabat adalah pola interaksi yang sejajar, setara, tidak formal, tidak kaku, aku tidak lebih hebat dan lebih pintar darimu, aku pun bukan ancaman untukmu, aku mau mendengarkan keluhanmu. Nah, ketika anak sudah nyaman dengan orangtuanya, tanpa diminta pun ia akan curhat sendiri tentang segala masalah dan harapan-harapan dalam hidupnya.
Penulis: Dr. Tauhid Nur Azhar