Dipublish pada:
Bangkrut.
Bisa dibilang begitu kondisi keluarga Dennis Setiawan (林金福/Lin Jin Fu) ketika ia berusia 17 tahun. Usaha orang tuanya gulung tikar dan meninggalkan banyak hutang.
“Kami ngga sanggup membayar hutang-hutang itu. Kalau suatu saat Koko (panggilan untuk Dennis-red) jadi orang sukses, tolong dilunasi,” kata ayahnya pada suatu malam setelah menyerahkan gulungan kertas berisi rincian hutang.
Seperti disambar petir di siang hari, Dennis kaget mengetahui kenyataan tersebut. Saat itu ketiga adiknya masih sekolah. Sedangkan Dennis yang belum lulus SMA tiba-tiba harus menjadi tulang punggung keluarga. Apalagi saat itu ayahnya juga sakit komplikasi paru-paru, asam urat, dan asam lambung. Selain itu, benjolan sebesar baso daging di leher sehingga harus dioperasi. Dana besar mutlak diperlukan.
Stres, depresi, itu yang dirasakan pria kelahiran 26 November 1991 ini. Seperti terombang-ambing di lautan, jiwa Dennis tak tahu harus bersandar kepada siapa. Kendati muslim sejak lahir, namun ia dibesarkan di lingkungan keluarga ayahnya yang beragama non-muslim. Ajaran Islam pun sedikit sekali ia dapatkan. Terlebih selama menimba ilmu, ia belajar di sekolah agama lain.
Atas saran teman, ia mulai mencari ketenangan dengan mendatangi dua rumah ibadah. Dennis lihat, perhatikan, dan mengikuti ritual keagamaan di sana. “Bukannya tenang, malah semakin ngga tentram,” tambah Dennis.
Pasca lulus SMA jiwanya yang kering akhirnya basah ketika ia belajar shalat dari saudara ibunya yang beragama Islam juga dari guru mengaji di masjid dekat rumah. Ia pun mulai belajar membaca huruf Al-Qur’an.
Kondisi ekonomi keluarga yang sulit membuat Dennis berpikir berkali-kali untuk melanjutkan pendidikan. Namun saat pengajuan beasiswanya diterima di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung, ia memutuskan melanjutkan studi.
Bekerja sebagai guru les privat, bernyanyi di kafe dan undangan pernikahan menjadi pekerjaan sampingan Dennis selama tiga tahun kuliah. Ia melakukannya selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi, juga untuk membayar sebagian biaya kuliah.
“Kegiatannya kuliah dari pagi sampai siang. Lanjut mengajar les sampai malam. Trus nyanyi di kafe. Malamnya mengerjakan tugas sampai pagi. Gitu aja terus tiap hari. Akhir pekan juga biasanya ada order nyanyi di undangan pernikahan. Karena terlalu diforsir, badan sampai kena tifus,” cerita Dennis.
Selesai kuliah, Dennis melanjutkan perantauan ke Jakarta. Diawal karirnya, ia menjadi staf marketing di perusahaan saham yang berkantor di jantung Ibu Kota. Karirnya terus menanjak hingga menjadi manager. Meski gaji tak beda jauh dari pekerja kantoran pada umumnya, tetapi komisi yang diterima tiap bulan bisa berkali lipat. Perlahan, hutang orang tuanya bisa dilunasi, walau belum sepenuhnya. Adik-adiknya pun bisa melanjutkan studi tanpa harus putus sekolah.
Tak sampai tiga tahun hingga sang pemilik perusahaan menawari dia bekerja di salah satu usahanya yang berada di Thailand. Gaji yang besar membuat Dennis menerima tawaran itu meski harus bekerja di kasino.
“Karena iman lemah dan masih ada tuntutan (membayar hutang-red) saya terima aja tawaran itu,” tambah Dennis.
Selang dua tahun bekerja di Thailand, dengan modal nekat pria yang senang travelling ini membuka usaha kasino sendiri. Dia menjadi bandar kasino online selama satu tahun.
Makin melejit. Rezki Dennis meningkat drastis ketika merantau ke Negeri Gajah Putih. Pendapatan per bulannya tak pernah kurang dari seratus juta Rupiah. Hutang orang tuanya lunas. Adik-adiknya bisa melanjutkan pendidikan hingga universitas. Di Indonesia, ia membeli rumah dan mobil untuk dijadikan investasi dan usaha.
“Kadang ikut taruhan. Sekali taruhan bisa sampai enam juta trus hilang entah kemana. Pernah minjemin uang pakai sistem bunga yang belakangan saya tahu kalo itu riba. Dulu mah ngaco sengaco-ngaconya.”
Namun, itu baru ujian kelapangan ternyata. Terbukti, semakin banyak uang yang didapat, tak lantas membuatnya tenang. Selama tiga tahun di Thailand, gelisah menghantui Dennis. Hari-hari dilalui tanpa bisa tidur nyenyak. Allah SWT mencabut ketenangan hati dan keberkahan rizki dari dirinya.
“Ada aja pengeluaran besar tidak diduga yang diundang dari dosa. Adik ketabrak saat menyetir, ditawari usaha tapi ditipu. Macem-macem,” tambah Dennis.
Kala galau, ia mencari ketenangan dengan menonton video ceramah Aa Gym di Youtube. Ada sedikit kedamaian saat menyimak untaian hikmah Tauhiid dari da’i asal Jawa Barat itu, meski tak berlangsung lama. Selain karena hanya menonton saat galau lagi di puncak-puncaknya, lingkungan tempat tinggal tidak mendukung. Teman-teman yang jauh dari agama, makanan haram bertebaran dimana-mana, dan hal lain yang tidak menentramkan membuat ketenangan di hatinya sirna dalam sekejap.
Dedikasi untuk Dakwah
Sampai akhirnya Dennis memutuskan kembali ke Indonesia pada Maret 2017 dan mantap mempelajari Islam, agama yang dianut sejak ia lahir. Diawali dengan sering datang ke masjid dekat rumah dan celingak-celinguk, ia diajak belajar agama Islam.
Adalah K.H Ahmad Fathurrahman, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kelurahan Sukasari, Bogor pada 2010 yang menjadi guru agama Dennis. Sampai sekarang minimal seminggu sekali Dennis menginap di rumah beliau untuk belajar Shohibul Ibad, Durratun Naasihiin, Riyadush Shalihin, Fiqh Dakwah, Nahwu Shorof, Al Hikam, dan kitab lainnya.
Pernah ketika awal belajar, ia mengejar berbagai majelis taklim. Saking hausnya terhadap ilmu agama, dalam sehari ia bisa belajar ke lima guru. Ia juga belajar tahsin, menghafal Al-Qur’an, dll.
Sejak belajar agama dan mantap berhijrah, Dennis mendedikasikan dirinya untuk dakwah. Ia tidak mau dikejar dosa masa lalu.
“Takut dosa-dosa itu belum diampuni. Jadi ya dilakuin aja terus. Saya juga capek mengejar dunia. Pada usia 24-25 pernah punya penghasilan besar, punya rumah, dan kesenangan dunia tapi ternyata tidak membahagiakan. Saya pikir itu pasti ada yang salah. Setelah tahu yang kurang adalah agama, saya kejar itu. Terbukti, dengan mempelajari agama, ketenangan didapatkan. Jadi mau ngejar apalagi?” cerita Dennis tentang alasan ia mempelajari agama.
Sahabat Masjid atau SaMa adalah komunitas berbasis di Bogor, Jawa Barat yang menjadi wadah Dennis berdakwah. Komunitas yang didirikan bersama Pujayana Kuswana (Puja) pada 2017 ini rutin mengadakan kajian setiap hari. Dennis juga aktif di remaja masjid dekat rumahnya.
Selain itu, sejak September 2018 ia mengikuti Kader Dakwah, sebuah program dari DT Peduli untuk menjaring pemuda yang fokus berdakwah.
“Saya ingin ilmu agama yang saya dapat baik dari guru maupun di DT Peduli bisa bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya ummat,” tutup Dennis.
Semoga dengan bergabungnya Dennis di DT Peduli bisa memperkuat tim assatidz Lembaga Amil Zakat Nasional ini.
Foto: Rama, Dokumen pribadi
Erni Hanifa