Dipublish pada:
Senin siang beberapa waktu lalu, hujan masih betah mengguyur kawasan Wirosaban, Umbulharjo, Yogyakarta dan sekitarnya. Tampak beberapa remaja laki-laki usia tanggung maupun dewasa hilir mudik memasuki masjid. Sebagian dari mereka adalah para santri Pondok Pesantren Yayasan Bina Anak Sholeh yang dipimpin oleh Ahmad Wijayanto, atau akrab dikenal dengan Ustaz Wijayanto.
Saat memasuki pekarangan rumahnya, Ustaz Wijayanto tampak sibuk mengurus tanaman yang ditanam tepat di halaman depan rumahnya. Dengan ramah, Ustaz Wijayanto mempersilakan tim Swadaya duduk dan mencicipi teh hangat yang telah disediakan.
“(kesibukan) saya tetap tiga, teaching, training, shooting sama ngasuh pondok saja, “kata Ustaz Wijayanto, mengawali percakapan sambil menyebutkan beberapa aktivitasnya hari itu.
Laki-laki kelahiran Solo, 27 Desember 1968 ini banyak dikenal masyarakat dari berbagai lapisan, terutama ibu-ibu majelis taklim. Selain mengisi berbagai kajian majelis taklim di berbagai saluran televisi dan masjid-masjid, ustaz Wijayanto juga kerap tampil di acara talk show di salah satu saluran televisi swasta. Logatnya yang khas, pembawaannnya yang tenang, dan ceramahnya yang mudah dicerna membuat Ustaz Wijayanto menjadi salah satu ustaz dikenal di negeri ini.
Dalam ceramah-ceramahnya, Ustaz Wijayanto mengedepankan mutu kemudian lucu, bukan sebaliknya. Tak jarang humor-humor cerdas dan menyentil pun dilontarkannya saat berceramah di majelis-majelis taklim maupun saat menjadi narasumber di televisi.
Masa kecil dan remajanya ia habiskan di kota kelahirannya. Semasa SD, Ustaz Wijayanto belajar agama di Majelis Tafsir Diniyah Solo. Ketika SMP dan SMA, ia belajar di Pondok Pesantren Al Islam. Sejak SMA, suami dari Ulaya Ahdiani ini sudah terbiasa tampil dan berbicara di depan umum. Ia pun kerap mengisi acara keagamaan di kampungnya dan mulai memenuhi undangan ceramah di berbagai tempat.
Setelah lulus SMA, Ustaz Wijayanto hijrah ke Yogyakarta dan meneruskan pendidikannya di dua perguruan tinggi berbeda. Ia mengambil Jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada dan Tarbiyah di IAIN Sunan Kalijaga. Walau demikian, Ustaz Wijayanto tetap meninmba ilmu agama di tempat lain. Ia pun meneruskan pendidikannya dengan mengambil kajian Sosiologi di Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan.
Selain berceramah, Ustaz Wijayanto juga menjadi dosen di UGM dan beberapa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Adapun materi kuliah yang disampaikan sekitar Pengantar Sosiologi, Etika Bisnis, dan Peradaban Islam. Kepiawaiannya mengajar membuat Ustaz Wijayanto berkali-kali terpilih sebagai dosen teladan.
Liarnya Media Sosial
Berbekal ilmu sosiologi yang didapatnya selama berkuliah di Pakistan serta pengalamannya, tak hanya menjadikannya sebagai dosen Pengantar Sosiologi. Ilmunya tersebut kerap ia terapkan saat berceramah dan menghadapi jamaah-jamaahnya yang berbeda karakter, usia, dan latar belakang. Sebagai penceramah dan juga pendidik, Ustaz Wijayanto juga sering memperhatikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, salah satunya adalah masalah di media sosial (medos).
“Sangat liar, sangat tidak beretika,” katanya saat ditanya tentang etika masyarakat di medsos,” katanya.
Ustaz Wijayanto menjelaskan, masyarakat harus menyadari berapa banyak media sosial memberi manfaat atau mudharat bagi diri sendiri maupun orang lain. Jadi, media sosial tidak hanya dapat meninggikan derajat di surga tapi juga dapat menjerumuskan ke neraka.
“Hand phone ini juga bisa mendekatkan suami istri dan menjauhkan suami istri. Dari hand phone bisa terjadi perceraian dari hand phone bisa terjadi perjodohan, dari hand phone bisa ada kemesraan, dari hand phone juga bisa jadi perselingkuhan. Jadi, luar biasa medsos ini,” katanya.
Menurutnya, efek negatif dari medsos sangatlah banyak. Pertama, medsos dapat membuat orang kecanduan, dari mulai anak-anak hingga dewasa. Kedua, menghabiskan waktu. Menurutnya, sebaik baiknnya orang Islam itu mampu meninggalkan sesuatu yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya.
“Hand phone itu luar biasa, banyak tidak manfaatnya untuk efisiensi waktu. Jadi jempol ini banyak menerakakan orang,” jelasnya.
Ketiga, di medsos, etika tidak berjalan kaitannya dengan tabayun. Padahal, dalam al-Quran jelas jika ada berita maka harus bertabayun. Ustaz Wijayanto menjelaskan, tidak ada tabayun disebabkan masyarakat yang ilateral. Menurutnya, masyarakat yang ilateral memiliki sifat tidak banyak referensi dan tidak pernah membaca.
“Pintar komen tapi tidak tahu latar belakang. Makanya saya jengkel, saya tidak punya facebook tidak punya Instagram tapi pemalsunya 14 facebook dan 11 instagram. Dari mulai penggalangan dana yang disalahgunakan. Tidak ada cek n ricek. Dan tabayun itu sesuatu yang sangat penting karena supaya tidak ada ke-mudharat-an yang menimpa orang lain,” ungkapnya.
Keempat, Ustaz Wijayanto menambahkan, masyarakat harus ingat, selain ada pahala yang bisa dilipatgandakan, maka dosa juga demikian. Dosa tersebut adalah menyebarkan fitnah atau keburukan seseorang yang belum tentu kebenarannya. Itulah mengapa dosa fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan karena fitnah bisa menyebar ke mana mana dan ketika orangnya sudah mati, fitnahnya masih belum reda. Kelima, yang harus diwaspadai adalah bentuk penyebaran kebencian, karena Islam dibangun untuk semangat persaudaraan.
“Yang lebih parah lagi, karena budaya kita ini budaya lisan, maka standard value itu bukan pada sumber tertulis tetapi omongan orang. Omongan tokoh. Nah ini juga ada pada sosmed, sosmed itu isinya bukan benar dan salah tapi like and dislike. Harus pandai-pandai mem-filter-nya,” jelasnya.
Menjadi Warganet yang Bijak
Ustaz Wijayanto rupannya kerap memiliki pengalaman tidak enak di media sosial. Tidak hanya banyaknya akun tidak bertanggungjawab yang mengatasnamakan dirinya, tapi juga Ustaz Wijayanto pernah menjadi “korban" liarnya mdia sosial.
Meskipun terkadang merasa jengkel, Ustaz Wijayanto menganggap hal itu sebagai proses belajar mendewasakan dirinya.
“Kalau saya belajar mendewasakan diri. Pertama, sambunglah orang-orang yang memutus hubungan. Kedua, maafkan orang-orang yang bersalah. Ketiga, doakan orang-orang yang membeci kita. Ini yang sulit yang ketiga, “ ujarnya.
Sebelum menutup perbincangan, Ustaz Wijayanto berpesan kepada masyarakat untuk menjadi warganet yang bijak, terutama dalam ber-medsos. Pertama, merenungi ayat yang pertama turun, yakni “1qra”. Sebelum menyebarkan berita, masyarakat harus mengetahui latar belakang informasi yang akan disebarkannya itu.
“Dilihat dong dari latar belakangnya supaya kita tidak termasuk orang yang menyesatkan umat. Jadi jangan sampai sesat dan menyesatkan. Perlu menyaring, perlu dewasa, mudah-mudahan dengan media sosial dapat medewasakan orang untuk bersikap, tidak mudah sharing, tidak mudah copas. Hati-hati, jempol bisa mensurgakan kita, jempol bisa menerakakan kita ,” jelasnya.
Kedua, masyarakat harus selektif dan jangan sampai melakukan sesuatu yang sia-sia atau dapat mengatur waktu.
“Saran, setiap keluarga ada kegiatan bersama tanpa hand phone. Saya sudah memulai, kalau makan bareng tidak boleh ada handphone. Kalau pegang hand phone, enggak jadi makan. Ini untuk menjaga ketahanan rumah tangga karena hand phone terjadi perceraian, perselingkuhan,” jelasnya. (Astri Rahmayanti)