Dipublish pada:
Pada dasarnya hukum arisan awalnya adalah mubah atau boleh. Sebagaimana kaidah dasar dalam muamalah menyatakan bahwa asal dalam transaksi atau muamalah adalah diperbolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
الأصل في المعاملة الإباحة
Dalam kajian fikih, arisan termasuk akad kontemporer, artinya tidak dikenal dalam kajian-kajian ulama klasik. Secara hukum, arisan termasuk wadhi’ah (akad titipan) dan kemudian berubah menjadi qardh (hutang piutang). Akad arisan bisa berubah menjadi haram, jika ada unsur riba dan adanya jahalah (ketidakjelasan) dalam transaksinya. Sebagai contoh, jika dalam akad arisan ada keharusan yang menang harus menjamu yang lainnya, maka jamuan tersebut adalah haram karena termasuk manfaat yang diambil dari transaksi hutang piutang.
Arisan qurban hukumnya bisa menjadi haram jika yang menang harus menerima hewan qurban, karena adanya ketidakpastian harga hewan qurban, sehingga menyebabkan adanya perubahan uang yang harus disetor oleh para anggota.
Contoh : jika pada tahun 2017 harga satu ekor sapi Rp. 21.000.000, maka jika ada 21 orang yang ikut arisan, maka masing-masing bayar Rp. 1.000.000,- dan terpilih tujuh orang yang akan berkurban. Tapi pada tahun 2018 harga sapi naik menjadi Rp. 24.000.000, untuk berat sapi yang sama dengan tahun sebelumnya. Maka ada kenaikan menjadi Rp. 1.143.000,- inilah tidak jelasan yang dimaksud.
Oleh karena itu, agar tetap halal, maka akadnya bukan arisan qurban tapi arisan uang sebagaimana biasa, tapi uang tersebut dipergunakan untuk beli hewan qurban. Kekurangan yang ada menjadi tanggung jawab mereka yang akan berkurban. Dan itu harus disepakati di awal.
Namun ada pertanyaan menarik, apakah boleh seseorang beribadah dengan cara berhutang terlebih dahulu, karena kita tahu bahwa akad utama arisan qurban adalah hutang piutang?
Hukum berkurban adalah sunnah muakkad bukan wajib menurut Jumhur ulama. Artinya sangat dianjurkan untuk dilaksanakan bagi yang memiliki kelapangan harta. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang tidak memiliki uang tunai untuk berkurban tapi memiliki gaji atau penghasilan lainnya yang bisa digunakan untuk membayar hutang untuk membeli hewan kurban maka alangkah lebih baiknya ia berkurban. Tetapi jika penghasilannya tidak atau belum jelas, maka sebaiknya dia tidak berhutang untuk bisa melaksanakan berkurban karena akan membebani dirinya sendiri. Ibnu Taimiyyah ditanya perihal tersebut, beliau menjawab : “jika ia sanggup membayar lalu berhutang untuk berkurban, maka itu adalah hal yang baik. Dan ia tidak wajib melakukan hal tersebut” (Majmu’ul Fatawa 26/305)
Ali Nurdin Anwar Lc. M.E.I dari Dewan Pengawas Syariah DT Peduli
Foto: smart-money.co