Dipublish pada:
DTPEDULI.ORG | KULON PROGO – Mentari sore menyusup perlahan di balik bukit Menoreh ketika suara azan maghrib berkumandang dari Masjid As-Salam, Kagongan, Kalibawang, Kulon Progo. Di dalamnya, seorang pemuda bersarung dan berkopiah putih tengah merapikan mikrofon. Dialah Adam Maulana Kun Prayono, salah satu dari 11 dai muda yang diterjunkan DT Peduli Yogyakarta dalam program Dai Ramadhan tahun 2025.
Bukan sekadar ceramah atau shalat berjamaah, Adam datang membawa semangat menyala untuk menghidupkan masjid yang selama ini hanya sesekali terisi.
“Alhamdulillah, sekarang masjid kami terasa hidup kembali. Jamaah makin banyak, anak-anak mulai rajin ikut tarawih, bahkan ada remaja yang minta belajar ngaji lagi,” ujar Purwanto, Takmir Masjid As-Salam, dengan mata berbinar.
Kisah seperti ini tak hanya terjadi di Kalibawang. Di lereng Samigaluh, suasana serupa juga dirasakan. Masjid Nurul Iman di Duwet yang biasanya lengang, kini ramai dengan anak-anak yang belajar iqra’ dan remaja yang duduk melingkar dalam halaqah. Di sana, Yiyi Mulzam Kamil mengisi hari-harinya dengan mendampingi masyarakat dari subuh hingga malam.
“Ramadhan kali ini berbeda, lebih hangat, lebih bermakna,” kata seorang ibu rumah tangga yang ikut pengajian bakda Ashar.
Program Dai Ramadhan DT Peduli bukan hal baru dan selalu dinanti. Tahun ini, 11 dai yang merupakan mahasiswa STAI Daarut Tauhiid disebar ke pelosok di Gunungkidul dan Kulon Progo, dua kabupaten yang dikenal dengan geografis yang menantang namun menyimpan semangat religius yang tinggi.
Mereka bukan datang sebagai penceramah semata. Mereka adalah sahabat Ramadhan masyarakat. Mereka menjadi imam, guru ngaji, motivator, sekaligus pendengar yang baik. Dari Tlukuk di Semin hingga Piji di Girisubo, dari Planjan di Saptosari hingga SMAN 1 Kalibawang, para dai muda ini membaur dalam kehidupan masyarakat desa.
Zainal Arifin, guru agama di SMAN 1 Kalibawang, mengungkapkan kehadiran dai Ramadhan telah membawa angin segar ke sekolahnya, “Masjid sekolah kami awalnya sunyi karena jauh dari pemukiman. Tapi dengan kehadiran dai, suasananya berubah. Ada kultum, ada kajian. Anak-anak bahkan ikut program tadarus dan sahur bareng.”
DT Peduli menyadari bahwa Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, melainkan juga tentang menyebar cahaya kebaikan ke sudut-sudut yang sunyi. Maka, sebelum turun ke lapangan, para dai ini dibekali dengan pelatihan intensif, mulai dari metode dakwah, manajemen kegiatan keagamaan, hingga teknik pendekatan kultural.
“Ramadhan bukan hanya tentang ibadah personal, tetapi juga kesempatan untuk menebar kebermanfaatan seluas-luasnya. “Para dai ini adalah representasi semangat pemuda Islam yang siap berkhidmat untuk umat,” ujar Nur Ikhsan Bashori, Kepala DT Peduli Yogyakarta.
Mereka memang muda, namun semangatnya menembus batas. Mereka tidak memilih tempat yang mudah. Justru di tempat yang jauh, di mana sinyal susah dan air harus ditimba, mereka memilih tinggal. Karena di sanalah tantangan dakwah sesungguhnya.
Dengan penuh kerendahan hati, DT Peduli mengajak masyarakat luas untuk ikut mendukung program ini, baik secara moril, materiil, maupun dalam bentuk doa dan kolaborasi. Karena setiap langkah kecil para dai ini adalah bagian dari perjuangan besar untuk membumikan nilai Islam di seluruh penjuru negeri.
Baca juga: Langkah Kecil, Cahaya Besar: Perjalanan Para Dai Ramadhan ke Pelosok Negeri
Penulis: Tim DT Peduli Yogyakarta
Editor: Agus ID