Dipublish pada:
Tak lama lagi, seluruh umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha, atau Idul Qurban. Kehadiran hari raya ini senantiasa ditunggu oleh setiap umat Islam, karena di sinilah misi sosial umat benar-benar diaplikasikan, yaitu dengan memotong hewan kurban untuk sang fakir miskin.
Hari raya kurban benar-benar menyimpan sejuta makna yang sangat berharga bagi kaum muslimin di mana pun berada, yang takkan pernah hilang dimakan waktu. Berkurban tidak semata-mata persoalan menyembelih hewan pada waktu Idul Qurban. Tapi, lebih jauh dari itu, ialah menunaikan dan mewujudkan misi tauhid dan keikhlasan semata untuk Allah saja.
Namun demikian, tak bisa dipungkiri, kini banyak sekali umat Islam yang berkurban dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan, dan kurang memahami makna sesungguhnya, yaitu makna solidaritas dan jiwa sosial.
Banyak hadis nabi yang membahas tentang kurban. Di antaranya Hadist Riwayat Ahmad. Pernah suatu ketika para sahabat bertanya,
Sahabat : "apakah maksud kurban ini?"
Beliau saw menjawab, “Sunnah Bapakmu, Ibrahim."
Mereka bertanya lagi, "apa hikmahnya bagi kita?
Beliau saw menjawab, "setiap rambutnya akan mendatangkan satu kebaikan”
Mereka bertanya, “apabila binatang itu berbulu?”
Beliau saw menjawab, "pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan."
Jika ibadah kurban hanya didasari oleh keinginan untuk memperoleh pahala, maka tak pelak ibadah kurban hanya berdampak pada kepuasan psikologis secara individual. Sementara pengaruhnya terhadap kehidupan sosial hanya sebatas ritual memberikan daging di hari itu. Oleh karena itu, pemahaman akan hakikat sesungguhnya tentang ibadah kurban perlu diluruskan.
Pahala yang dijanjikan memang perlu diketahui, dan menjadi motivasi bagi umat untuk melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi, hakikat ibadah kurban jauh lebih penting untuk dipahami.
Dalam Islam, ibadah kurban mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi spiritual-transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah. Sehingga, melakukan kurban (dalam arti yang lebih luas) semestinya tidak hanya pada saat Idul Adha. Melainkan di setiap saat, kita harus dapat mengurbankan apa yang kita miliki, sebagai upaya taqarrub kepada Allah. Sifat demikian secara konkrit mempunyai dampak positif horisontal, yakni terpenuhinya kesejahteraan sosial.
Dimensi kedua adalah dimensi sosial humanis, yang nampak dalam pola pendistribusian hewan kurban, yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang berhak (mustahiq). Namun, dimensi ini akan bernilai, manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya, melakukan kurban dalam bingkai niat karena Allah, mampu mengaplikasikan solidaritas sosial.
lni berarti, pendistribusian daging kepada yang berhak, mengandung makna dan upaya melakukan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, pemaknaan ibadah kurban kiranya menjadi sangat perlu dikontekstualisasikan dalam rangka mencapai tujuan pensyariatan Islam (maqashidus syari'ah), yakni tercapainya kemaslahatan dunia akhirat.
Dalam kaitan ini, kontekstualisasi ibadah kurban dipandang sangat perlu. Agar tidak menjadi out of date di samping upaya pencapaian tujuan adanya syariat Islam, yakni kemaslahatan dunia akhirat.
Dalam kajian fiqh, hukum berkurban adalah sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi'i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, dan lainnya berkata, "Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji," (Matdawam, 1984).
Sedangkan ukuran ‘mampu’ berkurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan sedekah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang), setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) yaitu sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah kurban (Al Jabari, 1994).
Di antara dasar-dasar kesunnahan kurban antara lain, firman Allah SWT: "Maka dirikanlah (kerjakan) salat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah" (QS al-Kautsar [108]: 2). Selain itu, ada juga Hadist Riwayat At Tirmidzi, "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah”.
Sementara itu, bagi orang-orang yang sebenarnya mampu berkurban tapi tidak berkurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW: "Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV\/91).
Sementara itu perihal hewan yang dikurbankan biasanya berupa seekor kambing yang berlaku untuk satu orang. Tak ada kurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan untuk seekor unta atau sapi boleh patungan untuk tujuh orang (HR Muslim). Lebih utama, satu orang berkurban satu ekor unta atau sapi.
Namun demikian, bila terdapat keinginan untuk berkurban dengan konsep berjamaah semisal murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian yang mengumpulkan iuran uang untuk dibelikan kambing maka hukumnya boleh-boleh saja. Namun, belum dapat dikategorikan kurban, tapi hanya dimasukkan dalam kategori latihan kurban. Sembelihannya sah jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan. Namun, tidak mendapat pahala kurban tetapi mendapat pahala sedekah saja.
Melihat betapa besarnya nilai yang terkandung di balik makna kurban, maka seharusnya kita dapat mendorong seluruh ummat yang mampu untuk melaksanakan perintah Allah SWT ini. Sementara itu, bagi yang belum mampu, maka dibutuhkan upaya membiasakan diri dengan melakukan kurban secara berjamaah.
Berkurban dan Ibadah Haji
Ibadah dalam Islam selalu ada figur teladannya. Dalam konteks ini adalah Nabi Ibrahim as. Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim a.s.
Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim as, yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian dari Allah SWT. Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim as, mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim as terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Allah. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Kaitan antara Idhul Adha dengan ibadah haji itu sangat erat sekali. Dalam surat al-Kautsar sudah ada penegasan antara shalat dan berkurban itu setara, yang semuanya itu bermuara semata-mata mengharapkan rida Allah.
Oleh karena itu, jika kita ingin berkurban maka yang muncul adalah berbagai godaan atau bujuk rayu syaitan. Hal ini sesuai dengan momentum pada tanggal 10 Dzulhijjah yang dilanjutkan dengan hari Tasyrik 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, di mana para jamaah haji diwajibkan melempar jumrah atau belenggu hidup melemper syaitan, sebagai lambang untuk membuang sifat egois, sombong, sifat kebinatangan, riya dan takabur yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, menyembelih bukan semata mengalirkan darah, akan tetapi untuk menghilangkan tabiat buruk yang ada dalam diri manusia. (M Elgana Mubarokah)
Sumber: Maajalah Swadaya Edisi Juli 2020